Manusia 1000 Wajah

Di tengah-tengah percakapan, tiba-tiba tidak ada hujan, tidak angin, teman saya berkata pada saya,”Ma, lo tau gak kalau manusia itu punya 1000 wajah ?”. Hm. Karena sedang berbicara hal lain pada saat itu, saya balik bertanya padanya. “Maksudnya ?”. “Yah, orang itu, punya 1000 topeng untuk menutupi dirinya. You know, sesuatu yang akan digunakan tergantung dia berbicara dengan siapa dan kondisi mana ia berada pada saat itu.”, tandasnya. Ah! Jadi itu maksudnya.

Karena sedang setengah gila, ditengah-tengah perjalanan, saya teringat percakapan singkat hampir tidak penting dulu yang ketika itu tidak terbahas hingga tahap lanjutan. Manusia dengan 1000 wajah, begitu teman saya menyebutnya. Apa dasarnya ia tiba-tiba mengatakan itu? Saya tidak tahu. Tapi barangkali, ia juga telah mengamati apa yang ada disekelilingnya. Kejujuran itu terkadang kondisional.

Dalam sebuah hidup di masa kini yang serba dikepung berbagai macam hal, kebebasan menjadi hal sifatnya tidak universal. Barangkali itu hanya berlaku pada saat zaman primitif – prasejarah dimana manusia hidup untuk menyambung hidupnya dengan mengumpulkan makanan, berburu, dsb. Belum ada interaksi sosial, ekonomi, budaya, politik yang terangkum dalam sebuah sistem tersturktur seperti sekarang ini. Tak pelak lagi, kebebasan setiap individu untuk apapun juga dibatasi dengan nilai, norma, atau aturan-aturan yang berlaku di tengah masyarakatnya. Secara sederhana saya melihat kepanjangan dampaknya juga pada sebuah hal paling esensial dalam hidup manusia, yaitu kejujuran.

Anda dan saya, juga pasti demikian. Kita tidak pernah bisa untuk sering memperlihatkan siapa diri kita secara telanjang bulat (maksudnya, benar-benar asli dan tidak ada yang ditutupi) di tengah masyarakat. Mau bilang A,tapi karena mayoritas B, ya terkadang terbawa dengan itu. Inginnya C tapi karena dituntut untuk Z supaya tidak kehilangan muka, ya sudah ikut menjadi Z. Semua tergantung pada kondisi sekeliling. Benar juga sih kalau lagu jamannya Ahmad Albar yang bilang hidup itu panggung sandiwara. Semua orang berlomba-lomba untuk memasang topeng mereka. Termasuk Anda. (Dan ini, Anda tidak bisa bohong atau mengelak pada saya! Hahaha..)

Begitu sulitnya di masa kini untuk orang bisa memasang wajahnya dan bukan topengnya, sampai dibuatkan film oleh seorang sutradara Cina Daratan. Yah,kalau untuk ini saya lupa judulnya apa. Tapi film ini sangat menyentuh buat saya dan punya makna yang sangat dalam. Ceritanya sederhana. Tentang usaha seorang pria desa lugu untuk mendapatkan pujian dari kejujurannya melalui sebuah koran lokal. Ceritanya, si pria desa ini suatu malam telah berhasil menyelamatkan perempuan muda yang hampir diperkosa oleh penjahat kelas kakap. Pria ini yang menutupi badan perempuan ini dengan jas hujannya dan mengusir si penjahat itu.  Ia ingat betul wajah perempuan ini dan bagaimana ia sangat ketakutan pada malam itu.Itu adalah perbuatan baik terbesar yang pernah dilakukannya. Dan untuk itu, ia setengah mati berusaha datang ke sebuah koran lokal, agar beritanya dimuat, dan dirinya diceritakan sebagai si penolong perempuan malang itu.

Nasib tidak membawanya semudah itu. Ketika ceritanya hampir dipublikasikan, ternyata, perempuan malang yang nyaris jadi korban perkosaan itu mementahkan semua cerita si pria desa lugu itu. Ia mengatakan pria itu sudah gila dan bahwa ia baik-baik saja. Tidak pernah ada suatu kejadian buruk pun menimpanya, apalagi kejadian ia nyaris diperkosa di sebuah gang sempit kota. Pria itu bingung setengah mati. Ia yakin bahwa apa yang dikatakannya jujur dan tidak dibuat-dibuat. Ia yang menolong perempuan itu, masakkan mungkin ia berbohong. Cerita kemudian berlanjut dengan konflik antara perempuan dengan pria desa itu. Pria desa tetap bertahan dengan kejujurannya, dan perempuan itu juga tetap dengan kesaksiannya bahwa ia baik-baik saja.

Ada apa dengan pria itu ? Kenapa ia setengah mati berusaha agar dapat masuk koran ? Cerita ini sangat menarik. Pria lugu itu adalah anak seorang petani desa miskin yang telah mengalami masa-masa revolusi Komunis. Ayahnya pernah berkata padanya,”Saya tidak percaya bahwa orang jujur itu tidak mendapat pujian!”. Dan ia akan sangat bangga jika untuk sekali seumur hidupnya, sebelum ia mati, anaknya mendapatkan pujian atas kejujuran yang telah dikatakannya. Picik ? Tidak juga. Dalam cerita itu, diperlihatkan rumah si Pria dan Ayahnya ini yang sudah tua dan sakit-sakitan. DInding rumahnya penuh dengan sertifikat pujian dari Partai atas kejujuran ayahnya dan atas kerja keras ayahnya selama ini membela negara.

Hanya itu harta paling berharga buat ayahnya. Sertifikat dan kertas-kertas penghargaan. Bukan dengan materi berlimpah, rumah mewah, mobil bagus, dsb. Sertifikat itu menjadi bukti nyata keberhasilan dan ketulusan yang telah ia lakukan sepanjang hidupnya.

Lantas, dalam cerita ini, siapa pemilik 1000 topeng itu ? Sudah bisa ditebak. Perempuan itulah pemilik 1000 topeng paling mutakhir. Ia sengaja mementahkan apa yang dikatakan si pria itu dengan memasang topeng ‘tidak terjadi apa-apa’, karena ia merasa malu. Jika orang-orang tahu bahwa ia adalah korban percobaan perkosaan, ia akan dihina ataupun dicemooh oleh orang-orang.

Topeng itu bisa mengalahkan kebenaran yang ada disekitar kita. Topeng itu bisa menutupi kejujuran yang dimiliki. Maka saya berkesimpulan, kejujuran itu kini hanya milik dirimu dan Tuhan.

Jika saya bertemu dengan orang di lain kesempatan, saya tentunya akan menduga-duga, mode topeng apa ya yang sedang ia pasang ?

4 Comments (+add yours?)

  1. 140201
    Nov 12, 2008 @ 15:13:49

    mungkin mereka adalah orang-orang yang ” terpaksa” berbuat seperti itu…mungkin untuk menutupi masalah yang ada..atau memang tidak mau bermasalah..anyway ” Apapun masalah anda hari ini, itu pasti dalam kehendak TUHAN..Jangan Takut sebab HANYA DIA yang akan selalu menyertai anda dan senantiasa menolong anda (Bacalah Yesaya 41:10)..
    yang jadi pertanyaan saya adalah ” Bagaimana jika kita tidak punya rupa wajah sama sekali? ”
    TUHAN JESUS Memberkati, de..

    Reply

  2. Herianto Batubara
    Nov 13, 2008 @ 17:42:56

    Saya pernah melihat orang tua spontan bereaksi saat melihat anaknya terjatuh dan berkata “Oh, enggak apa-apa! Anak pintar, enggak sakit, kok! Jangan nangis, yah, Cup..cup..cup.., Cuma bocor aja kok kepalanya” (HAAAAH!!!!)

    Sepertinya kebanyakan orang pernah melihat, atau bahkan merasakan sendiri seperti cerita di atas, bukan?

    Menurut saya, dalam hal ini secara tidak langsung sejak kecil kita “dilatih” kemampuan untuk dapat berbohong. Menutup-nutupi perasaan hanya karena suatu kepentingan. Kita “diajarkan” untuk tidak mengikuti kata hati kita atau istilahnya berbohong, atau dengan kata lain tidak jujur atau (Udah ah…bertele-tele)

    Contoh lain misalnya, waktu saya kecil, kalau ada tamu datang ke rumah—sepertinya sih bukan tamu. Tapi lebih mirip tukang kredit—mama suka menyuruh saya membuka pintu dan menyuruh saya berkata: “Bilang ya,Mama enggak ada di rumah,” ungkapnya mantap.

    Saya pun menurut saja. Kira-kira, begini percakapannya:

    Heri (membuka pintu) : Cari siapa ya, om?

    Om jelek : Mama kamu ada, adik ganteng?(gantengnya nambahin sendiri…hehehe…)

    Heri : Enggak ada, Ooom!

    Om Jelek : Masa sih enggak ada? Entar Om kasih cokelat deh…yah..yah!

    Heri (Heri Dodol) : Bener, Om. Enggg….kata Mama, Mama
    enggak ada di rumah!

    Om Jelek : Anak pinter!

    Mama : ANAK SETAAAAAAAAAANNNNN! (Suara dari dalam rumah)

    NB: Ceritanya bener. Cuma di rekayasa dikit, biar lucu dan tidak membosankan membacanya 🙂

    Atau contoh lainnya lagi, saat kita bertamu ke rumah orang lain, ketika ditanya: “Kamu udah makan, belum?”, walau pun sang empunya rumah juga cuma basa-basi, biasanya dengan cepat kita akan menjawab “Oh, sudah!! Saya baru saja makan kok. Hehehe (Sambil nyengir setan)”, Padahal sebenarnya belum makan dan berharap ditawarkan sekali lagi (biasanya malah rakus seperti saya! Hahaha)

    Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering melihat (JUJUR: Juga terlibat) dalam berbagai bentuk interaksi sosial yang ada di lingkungan sekitar kita. Dan yang paling sering saya lihat, justru kebanyakan adalah wujud realisasi dari sikap tidak jujur. Tentunya dalam skala yang bervariasi.

    Jujur memang sulit sekali dilakukan di tengah interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat yang modern seperti saat ini. Terlalu banyak topeng. Terlalu banyak kepentingan yang ada dalam diri setiap individu. Dan kita tidak pernah sepenuhnya tau apa kepentingan itu.

    Tapi, lewat tulisan ini, satu hal yang bisa saya katakan:“Berusahalah untuk jujur, sekalipun itu sulit”

    Kalau dulu Ahmad Albar menyadarkan kita lewat tembang: “Dunia ini, panggung sandiwara.…..”, itu sudah kuno!!!

    Kita harus berpikir modern. Tentunya dengan lagu yang modern pula: Lewat tembang Peterpan.

    Mungkin jika kita berinteraksi dengan seseorang, kita bisa bernyanyi:
    “Buka dulu topengmu…buka dulu topengmu…biar kulihat wajahmu…biar kulihat warnamu…”

    14 November 2008. Pukul 00:26WIB.

    NB: “Celengan” blognya di isi terus nih sekarang! Tetap semangat yah, Maa.

    Reply

  3. worldofthousandwords
    Nov 14, 2008 @ 02:06:28

    Hm…Her, Her… Hihihihi.. Kamu bikin blog sendiri deh mendingan.. ninggalin commentnya ada udah bikin satu posting tulisan panjang sendiri.. huhuhhu… Thanx anyway..

    Reply

  4. Herianto Batubara
    Nov 14, 2008 @ 14:50:32

    habis, topiknya seru sih. lagian, aku mau kasih comment terus. biar kamu semangat nulis!

    btw, comment aku di atas emang sekalian mau aku masukin di rubrik selingan bulletin Mika aku. habis, aku pikir emang kepanjangan sih. 🙂

    Aku emang lagi mau buat blog niy. doain yah. mungkin isinya gak jauh” beda dari comment aku di atas. bahasannya ringan, sedikit humor, tapi punya isi. hehehe…

    doakan yah.

    NB: Kamu kan janji mau ngajarin aku buat blog, Maa.. ya kan?

    🙂

    Reply

Leave a reply to worldofthousandwords Cancel reply