Respect

Beberapa hari lalu, saya menemukan artikel menarik di suplemen Kompas. Artikelnya tentang psikologi yang secara sambil lalu bisa saja dilewatkan oleh pembaca yang berminat terhadap artikel olahraga.  Tetapi apa yang membuat saya tertarik untuk membacanya adalah karena artikel itu membahas tentang perilaku individu yang dewasa ini kian surut dengan rasa saling menghargai. Dan menurut saya, tulisan itu menjadi layak untuk naik cetak barangkali karena dalam perkembangan zaman yang serba heboh ini, rasa saling menghargai semakin menjadi permasalahan yang pelik bagi hubungan antar individu.

Artikel itu membahas tentang Komunikasi Terpatahkan. Tulisannya sederhana karena mengulas tentang bagaimana relasi individu dewasa ini menjadi semakin individualistis dan self-centered. Egois kalau dalam bahasa sederhananya. Menurut saya juga masuk akal, karena dengan keterbukaan arus informasi, individu sekarang menjadi lebih terbuka dan punya pendirian atas suatu hal. Entah itu pendirian yang berdampak baik bagi orang lain, atau justru sebaliknya.

Bahasan dipusatkan pada gambaran sebuah hubungan, baik itu pasangan yang masih pacaran, maupun yang telah menikah. Dalam kasus-kasus yang umum terjadi, seringkali kita dengar bagaimana pasangan yang satu melakukan “serangan” verbal kepada pasangan lainnya. Selalu saja ada justifikasi yang menggaris bawahi kenapa si pasangan melakukan hal tersebut, seakan itu adalah hal yang lumrah dan wajar. Lalu ketika diminta untuk berbicara dari hati ke hati dengan maksud mengatasi permasalahan yang terlihat sepele tapi mengganggu tersebut, jawaban yang keluar adalah “yah, mau apalagi ? Inilah gue ! Terima aja!”.

Misalnya saja, ceritanya begini. Pria A adalah suami/kekasih yang bekerja penuh di sebuah perusahaan. Ketika bertemu dengan pasangannya, si pria ini kemudian bersikap kasar terhadap pasangannya, sekalipun si pasangan tersebut bertanya hal baik dan dalam nada yang baik pula. Hal ini pun bisa tejadi sebaliknya, antara si wanita dan pasangannya. Contohnya : “bagaimana keadaanmu hari ini ?”, jawabannya adalah : “Ya capeklah ! Gitu aja masa ditanya ! Aku kan kerja !”. Dan terdiamlah pasangan yang menanyakan dengan maksud untuk memberikan perhatian.

Model komunikasi ini semakin berkembang di kota besar. Pria dan wanita sama saja, kedua-duanya memiliki potensi besar untuk melakukan hal semacam ini. Entah barangkali tekanan kehidupan begitu kuatanya sehingga kalau kata orang “senggol dikit bacok!”, atau memang karena sedang kesal terhadap sesuatu, maka orang terdekatlah yang dijadikan pelampiasan. Alasan bisa dicari sampai kemanapun. Tapi intinya adalah satu : individu tersebut sudah tidak lagi memiliki kemampuan dan akal sehat yang baik saat berada pada posisi komunikasi dua arah.

Pada tataran kecil, tidak heran angka perceraian di kota besar semakin tinggi. Dan jika ditarik lagi kearah yang lebih luas, konflik masyarakat semakin berkembang. Kotrol diri yang hilang dan ego yang begitu tinggi menyebabkan tidak ada yang lebih baik dari saya. Kemampuan mendengarkan pun menjadi terpengaruh oleh karenanya hal tersebut.

Memang tidak ada formulasi yang tepat untuk mengubah ini semua kecuali sama-sama melakukan introspeksi terhadap diri masing-masing individu. Nah pertanyaannya sekarang adalah : jika kemampuan itu semua semakin melemah, apakah kemampuan introspeksi dapat diandalkan ? Hanya Tuhan dan individu itu yang tau.

Looking Back, Looking Forward

Kalimat “Looking Back, Looking Forward” ini pertama kali saya lihat ketika dulu sedang mencari bahan untuk membuat makalah salah satu mata kuliah Ilmu Politik. Dalam salah satu bahan yang saya dapatkan di internet, judul ini menjadi menarik buat saya karena isinya adalah untuk melihat perbandingan dari suatu sistem yang tengah berjalan di masa lalu dan memprediksi apa yang terbaik di masa depan. Tentunya, istilah ini kadang juga seringkali kita gunakan untuk menilai dari tahap-tahap hidup kita. Apa yang pernah kita harapkan, apa yang sudah kita capai, dan apa yang akan kita harapkan lagi di masa depan untuk membuat segala sesuatunya berarti.

Saya sedang berada di Yogyakarta ketika saya memutuskan untuk kembali memposting sesuatu di blog saya yang telah lama sepi tulisan. Tentunya saat ini pun saya sedang berada di tengah-tengah dinas luar kota yang harus saya selesaikan dalam waktu satu minggu kedepan. Setelah menghabiskan waktu mengobrol ringan menemani atasan saya, ada hal yang tiba-tiba melintas dan sekaligus menjadi refleksi saya atas pertanyaan maupun pernyataan diatas.

Barangkali, tugas Yogyakarta ini akan menjadi tugas luar kota terakhir saya bersama GEF SGP Indonesia. Sebuah lembaga dana hibah lingkungan dimana selama hampir 3 tahun ini, saya bernaung dan banyak menggali ilmu dari padanya. Sudah saya putuskan bahwa saya akan mengakhiri pengabdian saya di lembaga ini dalam beberapa bulan mendatang. For good, tentunya. Dan inilah saat-saat dimana saya harus melihat kembali keseluruhan perjalanan karir saya untuk menyusun apa yang (barangkali) terbaik di masa depan.

Saya masih ingat saat pertama kali saya bergabung dengan lembaga ini, saya masih baru beberapa bulan lulus dari kampus. Ketika itu, saya sebetulnya belum pada posisi mencari kerja. Tetapi saya bertemu dengan mantan atasan yang kemudian menawarkan membantunya di lembaganya. Saya tidak punya pikiran apapun, dan mencoba karena sudah sejak lama saya ingin sekali membuktikan pada semua orang bahwa saya mampu melakukan sesuatu. Pada akhirnya, saya mengetahui bahwa lembaga yang kemudian meng-hired saya sebagai Asisten Program ini adalah lembaga dana hibah lingkungan internasional yang juga bekerjasama dengan UNDP. Sesuatu yang selalu saya impikan sejak saya sekolah dulu. Bekerja dengan lembaga internasional.

Bukan pula hal yang mudah ketika pertama kali bergabung di sini. Latar belakang pendidikan saya yang Ilmu Politik dengan kekhususan Politik Cina, dan kecenderungan saya dulu untuk tidak mengambil mata kuliah politik lingkungan, membuat saya harus belajar dari nol beberapa isu-isu lingkungan. Ada banyak sekali hal-hal baru yang harus saya pelajari dari nol. Dari mulai apa itu perubahan iklim, apa itu konservasi keanekaragaman hayati, apa itu energi terbarukan, dsb. Semua saya lakukan dengan seringkali berselancar di dunia maya untuk menambah sedikit ilmu di otak saya tentang apa yang saya kerjakan.

Tetapi, lebih dari pada itu, bekerja dengan masyarakat adalah intinya. Sudah menjadi impian saya, bahwa sebagian dari apa yang saya miliki atau kemampuan saya ingin saya kontribusikan untuk membantu masyarakat. Apapun bentuknya. Dan beruntung sekali saya bergabung dengan GEF SGP Indonesia. Karena diluar daripada dana hibah yang setiap beberapa bulan sekali disebarkan untuk membantu mengatasi problema lingkungan sekaligus kesejahteraan masyarakat, lembaga ini membantu saya untuk bisa melihat realita kehidupan dari berbagai sudut. Pengalaman-pengalaman baru saya dapatkan disini.

Tugas lapangan pertama saya di tahun 2007 adalah mendampingi atasan saya untuk persiapan UNFCCC-COP 13 di Bali. Saat itu, karena masih baru, saya masih sering membawa kedalam perasaan jika ada hal-hal yang dicomplain oleh atasan saya. Agak sulit juga ketika itu untuk bisa betul-betul memahami apa yang sebetulnya diinginkan dari saya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, saya mulai belajar apa yang disebut dengan manajemen kerja. Mungkin tugas pertama ini belum begitu menyentuh masyarakat karena lebih bersifat momentum. Tapi tentunya pasang surut emosi sudah mulai terasa. Dan saya belajar untuk bisa mengelola hal tersebut.

Tugas kedua yang benar-benar berkaitan dengan monitoring kerja adalah ketika saya diminta untuk mendampingi atasan saya commissioning mikrohidro di Gunung Lumut, Kalimantan Timur. Bagi saya, itu adalah pengalaman yang luar biasa dan, yah, bisa dibilang cukup heroik buat saya yang selama ini mungkin lebih banyak berkutat pada hal-hal di kota. Sekalipun hanya untuk 2 hari waktu monitoring, saya merasakan bagaimana perjalanan dan proses yang ditempuh hingga acara peluncuran mikrohidro tersebut dilaksanakan.

Gunung Lumut adalah salah satu gunung dengan hutan lindung di wilayah Kalimantan Timur yang harus ditempuh dengan jarak yang jauh. Karena letaknya di Kabupaten Paser Panajam, saya harus menggunakan kapal feri untuk sampai di kabupaten tersebut. Lalu kemudian lanjut selama 2 jam menyusuri jalan hingga sampai ke kaki Gunung Lumut, yang merupakan pintu masuk dari kampung penerima hibah, yaitu Kampung Muluy. Saya ingat ketika itu hari sudah malam saat akan naik ke Gunung Lumut. Karena di kaki gunung tersebut sudah terjadi konversi lahan sawit sepanjang 20 km, maka kondisi jalan kiri-kanan sangat gelap. Sejak dari Balikpapan pun sudah diwanti-wanti agar kami berhati-hati dengan truk pengangkut kayu yang bisa membahayakan, apalagi jalanannya adalah tanah merah yang licin jika hujan.

Total hampir 5 jam kami harus menempuh perjalanan untuk sampai ke Kampung Muluy. Telepon seluler pun cuma jadi pajangan disana karena termasuk daerah yang tidak tersentuh sinyal telepon (kecuali kalau agak naik sedikit, kata salah satu anggota mitra kami). Tiba di kampung tersebut sudah pukul 11 malam, yang mana udaranya mulai terasa dingin dan menggigit. Tapi kami memang tidak bisa langsung istirahat, karena ternyata harus berkumpul dulu di rumah Bapak Zidan, kepala adat Kampung Muluy, untuk melaksanakan ritual adat penyambutan tamu asing.

Itulah kali pertama saya benar-benar berhadapan dan mendengar langsung cerita dari masyarakat adat Dayak Paser yang selama ini menghadapi berbagai macam ancaman hidup dari berbagai pihak. Seusai upacara, karena harus juga membahas keperluan dokumentasi, saya terus terjaga hingga pukul 2 pagi, berbicara dengan beberapa masyarakat yang masih tersisa. Saat istirahat pun, saya agak kesulitan karena bingung mau buang air kecil dimana. Warga Kampung Muluy biasanya mandi dan membersihkan diri di sungai. Kalaupun ada WC buatan untuk buang air, permasalahannya air itu harus ditimba dulu dari sungai. Hahaha.. Jadi, saya masih ingat waktu itu, saya disuruh buang air saja di dapur. Karena lantainya kayu dan bercelah, tentunya akan langsung terbuang ke tanah dibawahnya. Nah, karena saya masih lugu, saya justru mengambil air dari gentong didekat saya. Ternyata, gentong itu adalah untuk persediaan air minum! hahaha… Tidak saya habiskan memang. Tapi saya jadi merasa bersalah, karena sudah mengambil sedikit jatah air minum yang punya rumah!

Keesokan harinya saat saya harus memonitor mikrohidro sebelum acara peluncuran dimulai pun tidak kalah menariknya. Mikrohidro tersebut dipasang didalam hutan Gunung Lumut, berdekatan dengan Sungai Muluy yang mengalir. Jarak dari kampung kedalam, cukup jauh. Sekitar 5-6 km. Memang ada cara singkat untuk menembusnya, adalah dengan menggunakan motor hingga sampai di pintu masuk hutan (dimana pintu masuk ini artinya adalah jalan yang terputus!). Sisanya, ya harus dengan berjalan kaki. Menembus sisa 3 km kedalam hutan, memang tidak mudah. Apalagi hutan itu, sesuai dengan namanya, banyak sekali batu yang berlumut. Licin! Beberapa kali saya hampir terjatuh karenanya (untuk yang ini, kami memang ditertawakan dengan pemuda Dayak yang menjadi pemandu kami! Dasar orang kota, pikirnya). Tetapi setelah melewati itu semua, tidak terbayangkan bagaimana senangnya saya ketika melihat mikrohidro tersebut yang sudah dibantu oleh lembaga kami, beroperasi dengan baik dengan listrik yang mengaliri 54 rumah masyarakat.

Yah, itu adalah sepenggal dan sebagian kecil pengalaman serta pembelajaran saya melihat dunia baru melalui GEF SGP Indonesia. Setelah penugasan hutan Lumut pertama itu, masih banyak perjalanan lainnya yang tidak kalah menarik. Dan saya senang telah melakukannya. Saya senang diberikan kesempatan untuk bisa belajar, mendengar, dan bercerita bersama masyarakat. Kesempatan-kesempatan yang mungkin baru akan saya rasakan kembali setelah nanti bertahun-tahun hidup saya.Lembaga ini tidak hanya menjadi ruang belajar bagi saya, tetapi juga keluarga saya. Selalu ada hal-hal baru yang bisa didiskusikan dan dibagi baik antar pekerja GEF SGP maupun mitra kerja yang tersebar di daerah.

Menghitung waktu-waktu yang tersisa mengabdi bersama GEF SGP, seperti berusaha untuk melepaskan kelekatan sebuah keluarga yang selama 3 tahun terakhir menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari saya. Suka-duka, senang-sedih, bahagia-marah yang saya rasakan tidak hanya menjadi penggalan cerita karir saya, tetapi juga bentuk kontribusi atas mimpi bekerja untuk masyarakat yang selama ini ada. Dan mimpi itu tidak pernah padam dalam diri saya.

So, teman-teman, terima kasih banyak atas kesempatan dan pengalaman yang sudah diberikan kepada saya. Maybe its time for me to move on. Hopefully, we’ll still be a family. Like we used to be in GEF SGP Indonesia.