Salah satu kelebihan kita menjadi manusia adalah diberikannya kemampuan untuk merasakan hal-hal disekeliling kita dengan seluruh panca indera yang dimiliki. Kalau guru-guru jaman dulu bilang, yang membedakan kita dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya adalah adanya cipta, rasa, dan karsa. Kemampuan untuk merasakan melalui emosi, berkreasi, dsb, dsb. Yah, pokoknya itu lah.
Nah, menyambung masalah ini, saya jadi teringat sesuatu. Di tengah hiruk pikuknya dunia yang saya jalani, saya sering sekali mendengarkan cerita berbagai teman-teman saya tentang kehidupan yang mereka alami. Sembilan puluh persen dari waktu kumpul bersama teman-teman saya, pasti akan selalu memasukkan ‘cinta’ sebagai salah satu topiknya. Apakah itu cerita tentang mengejar gebetan, cinta segitiga, berbunga-bunga karena baru jadian, sampai sakit hati karena putus cinta (plus dengan drama mau jungkir balik atau lompat dari genteng!). Dan ini lintas jender, ya. Jadi saya asumsikan bahwa yang cerita-cerita menye beginian nggak cuma cewek aja, tapi juga cowok.
Lalu, saya mencoba menelusuri kenapa sih topik ini menjadi sangat umum dan tetapi exist ? Apakah karena manusia akan selalu terjebak dengan suatu hubungan emosional ? Atau apa ? Dan sebetulnya, seperti apa sih yang namanya cinta itu ? Apa yang membedakan rasa cinta satu dan lainnya ? Karena terkadang, ia bisa begitu nyata, tapi bisa juga absurd. Kadang garis pembedanya menjadi tidak terlihat. Maka saya teringat bahwa dulu sekali saya pernah menulis khusus tentang ini dengan tujuan untuk bisa mendapatkan pemahaman mengenai rasa yang satu ini. Setelah membongkar folder-folder dalam laptop saya, akhirnya saya temukan kembali tulisan saya, dan me-refresh ingatan serta pemahaman saya akan cinta.
Erick Fromm dalam buku yang ditulisnya berjudul “The Art of Loving” menyebutkan bahwa di dunia ini ada lima bentuk cinta, yaitu cinta erotis, cinta ibu, cinta sahabat, cinta diri sendiri, dan cinta kepada Tuhan. Dari kelima konsep cinta itu, hanya cinta erotislah yang melibatkan dua orang individu dan menyatukannya. Mengapa ? Karena dalam cinta ini, terdapat unsur gairah dan nafsu, yang tidak terdapat pada ke-empat cinta lainnya.
Namun, diantara kelima cinta itu, Erick juga menyebutkan bahwa cinta erotislah yang paling tidak bisa dipercaya. Mengapa ? Karena ia eksklusif dan sifatnya tidaklah universal. Kita tidak mungkin merasakan gairah cinta erotis kepada teman-teman atau saudara kita, atau orang tua kita, atau pada siapapun yang tidak kita inginkan sebagai pasangan kita. Kita hanya akan merasakannnya pada orang-orang tertentu saja, yang dimana kita tertarik padanya secara seksual. Tidak bisa dipercaya karena cinta ini bisa datang dan pergi. Berbeda dengan ektika kita mencitai teman-teman kita, sahabat kita, saudara kita, orang tua kita, diri kita sendiri, atau Tuhan. Rasa itu akan bertahan pada derajat yang lebih universal.
Saya kemudia berpikir, cinta erotis memang seringkali membuat kita hanyut dalam luapan rasa bahagia, semangat yang menggebu, dan selalu mampu membuat kita memandang hidup begitu indah dan bermakna manakala kita merasakannya. Tetapi saat rasa itu hancur, dunia jadi jungkir balik bagi kita. Itu juga saya rasakan. Saat kekasih saya menelepon, mengirimkan sms, dan segudang perhatian lainnya, dunia saya menjadi lebih berwarna, penuh semangat. Namun saat ia menghilang, saya seakan merasa hampa dan buntu. Kreatifitas saya terblokir dan rasanya malas melakukan apa-apa. Barangkali itu yang membuat saya merasa lebih nyaman memiliki pasangan, ketimbang berjalan sendiri, sekalipun harus kadang harus merasakan sakit.
Lain waktu, ketika saya sedang berada di Gereja, pendeta yang berkhotbah pada hari itu membahas mengenai bentuk-bentuk kasih. Berbeda dengan Erick Fromm, sang pendeta menyebutkan bahwa di dunia ini ada empat macam kasih. Kasih Eros, kasih Fillos, kasih Sturgos, dan kasih Agape. Sekalipun definisinya tidak terlalu berbeda dengan Fromm, tapi pendeta tersebut menyebutkan bahwa tiga kasih yang pertama merupakan kasih duniawi, yang di-istilahkan-nya sebagai kasih “jikalau”. Sementara kasih yang terakhir adalah kasih yang sifatnya vertikal, antara manusia dan Tuhan, yang diistilahkannya sebagai kasih “meskipun”.
Kasih Eros adalah kasih yang melibatkan daya tarik seksual, kasih Filos adalah kasih karena pertalian saudara atau darah daging, kasih Sturgos adalah kasih kepada teman, dan kasih Agape merupakan gambaran kasih Tuhan pada manusia yang tanpa syarat. Ketiga kasih pertama, identik dengan kata “saya akan mengasihi kamu, jikalau kamu….”. Tipe kasih ini adalah kasih yang sangat manusiawi. Sementara kasih terkahir identik dengan “saya akan mengasihi kamu, meskipun kamu…”
Dalam memahami ini semua, saya mencoba untuk membandingkan antara definisi satu dengan lainnya. Tidak bisakah kasih eros juga memiliki sifat agape ? Jika saya menemukan cerita dari satu individu yang sama tertawa karena cinta, dan seminggu kemudian hampir mati karena cinta, apakah benar eros betul-betul eksklusif dan tidak dapat dipercaya ? Bagaimana dengan cinta ibu ? Cinta dan kasih ibu bagi saya adalah bentuk cinta tak berkesudahan dan tanpa syarat, layaknya agape dan tidak hanya sebagai fillos.
Baiklah. Saya terlalu mengkritisi sesuatu barangkali. Saat ini, saya sedang bersama seseorang yang mengisi hari-hari saya dengan semangat dan nuansa baru. Yah, itu adalah eros. Kalau mau dipikirkan terus, saya barangkali akan takut setengah mati karena tahu bahwa suatu saat eros akan pergi meninggalkan saya. Tapi, anyway, saya rasa saya sudah mati rasa dengan rasa takut itu. Jadi, lebih baik saya jalani saja apa adanya ketimbang diam dan tidak melangkah sama sekali. Barangkali yang sedang saya coba adalah menggabungkan antara eros dan agape itu. Saya belum tahu bagaimana hasilnya. Tapi nanti kalau ada perkembangan baru, saya akan cerita. Siapa tahu akan jadi salah satu terobosan dalam memahami apa itu cinta. Dan Erick Fromm mungkin harus merevisi bukunya.