The Understanding of Love

Salah satu kelebihan kita menjadi manusia adalah diberikannya kemampuan untuk merasakan hal-hal disekeliling kita dengan seluruh panca indera yang dimiliki. Kalau guru-guru jaman dulu bilang, yang membedakan kita dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya adalah adanya cipta, rasa, dan karsa. Kemampuan untuk merasakan melalui emosi, berkreasi, dsb, dsb. Yah, pokoknya itu lah.

Nah, menyambung masalah ini, saya jadi teringat sesuatu. Di tengah hiruk pikuknya dunia yang saya jalani, saya sering sekali mendengarkan cerita berbagai teman-teman saya tentang kehidupan yang mereka alami. Sembilan puluh persen dari waktu kumpul bersama teman-teman saya, pasti akan selalu memasukkan ‘cinta’ sebagai salah satu topiknya. Apakah itu cerita tentang mengejar gebetan, cinta segitiga, berbunga-bunga karena baru jadian, sampai sakit hati karena putus cinta (plus dengan drama mau jungkir balik atau lompat dari genteng!). Dan ini lintas jender, ya. Jadi saya asumsikan bahwa yang cerita-cerita menye beginian nggak cuma cewek aja, tapi juga cowok.

Lalu, saya mencoba menelusuri kenapa sih topik ini menjadi sangat umum dan tetapi exist ? Apakah karena manusia akan selalu terjebak dengan suatu hubungan emosional ? Atau apa ? Dan sebetulnya, seperti apa sih yang namanya cinta itu ? Apa yang membedakan rasa cinta satu dan lainnya ? Karena terkadang, ia bisa begitu nyata, tapi bisa juga absurd. Kadang garis pembedanya menjadi tidak terlihat. Maka saya teringat bahwa dulu sekali saya pernah menulis khusus tentang ini dengan tujuan untuk bisa mendapatkan pemahaman mengenai rasa yang satu ini. Setelah membongkar folder-folder dalam laptop saya, akhirnya saya temukan kembali tulisan saya, dan me-refresh ingatan serta pemahaman saya akan cinta.

Erick Fromm dalam buku yang ditulisnya berjudul “The Art of Loving” menyebutkan bahwa di dunia ini ada lima bentuk cinta, yaitu cinta erotis, cinta ibu, cinta sahabat, cinta diri sendiri, dan cinta kepada Tuhan. Dari kelima konsep cinta itu, hanya cinta erotislah yang melibatkan dua orang individu dan menyatukannya. Mengapa ? Karena dalam cinta ini, terdapat unsur gairah dan nafsu, yang tidak terdapat pada ke-empat cinta lainnya.

Namun, diantara kelima cinta itu, Erick juga menyebutkan bahwa cinta erotislah yang paling tidak bisa dipercaya. Mengapa ? Karena ia eksklusif dan sifatnya tidaklah universal. Kita tidak mungkin merasakan gairah cinta erotis kepada teman-teman atau saudara kita, atau orang tua kita, atau pada siapapun yang tidak kita inginkan sebagai pasangan kita. Kita hanya akan merasakannnya pada orang-orang tertentu saja, yang dimana kita tertarik padanya secara seksual. Tidak bisa dipercaya karena cinta ini bisa datang dan pergi. Berbeda dengan ektika kita mencitai teman-teman kita, sahabat kita, saudara kita, orang tua kita, diri kita sendiri, atau Tuhan. Rasa itu akan bertahan pada derajat yang lebih universal.

Saya kemudia berpikir, cinta erotis memang seringkali membuat kita hanyut dalam luapan rasa bahagia, semangat yang menggebu, dan selalu mampu membuat kita  memandang hidup begitu indah dan bermakna manakala kita merasakannya. Tetapi saat rasa itu hancur, dunia jadi jungkir balik bagi kita. Itu juga saya rasakan. Saat kekasih saya menelepon, mengirimkan sms, dan segudang perhatian lainnya, dunia saya menjadi lebih berwarna, penuh semangat. Namun saat ia menghilang, saya seakan merasa hampa dan buntu. Kreatifitas saya terblokir dan rasanya malas melakukan apa-apa. Barangkali itu yang membuat saya merasa lebih nyaman memiliki pasangan, ketimbang berjalan sendiri, sekalipun harus kadang harus merasakan sakit.

Lain waktu, ketika saya sedang berada di Gereja, pendeta yang berkhotbah pada hari itu membahas mengenai bentuk-bentuk kasih. Berbeda dengan Erick Fromm, sang pendeta menyebutkan bahwa di dunia ini ada empat macam kasih. Kasih Eros, kasih Fillos, kasih Sturgos, dan kasih Agape. Sekalipun definisinya tidak terlalu berbeda dengan Fromm, tapi pendeta tersebut menyebutkan bahwa tiga kasih yang pertama merupakan kasih duniawi, yang di-istilahkan-nya sebagai kasih “jikalau”. Sementara kasih yang terakhir adalah kasih yang sifatnya vertikal, antara manusia dan Tuhan, yang diistilahkannya sebagai kasih “meskipun”.

Kasih Eros adalah kasih yang melibatkan daya tarik seksual, kasih Filos adalah kasih karena pertalian saudara atau darah daging, kasih Sturgos adalah kasih kepada teman, dan kasih Agape merupakan gambaran kasih Tuhan pada manusia yang tanpa syarat. Ketiga kasih pertama, identik dengan kata “saya akan mengasihi kamu, jikalau kamu….”. Tipe kasih ini adalah kasih yang sangat manusiawi. Sementara kasih terkahir identik dengan “saya akan mengasihi kamu, meskipun kamu…”

Dalam memahami ini semua, saya mencoba untuk membandingkan antara definisi satu dengan lainnya. Tidak bisakah kasih eros juga memiliki sifat agape ? Jika saya menemukan cerita dari satu individu yang sama tertawa karena cinta, dan seminggu kemudian hampir mati karena cinta, apakah benar eros betul-betul eksklusif dan tidak dapat dipercaya ? Bagaimana dengan cinta ibu ? Cinta dan kasih ibu bagi saya adalah bentuk cinta tak berkesudahan dan tanpa syarat, layaknya agape dan tidak hanya sebagai fillos.

Baiklah. Saya terlalu mengkritisi sesuatu barangkali. Saat ini, saya sedang bersama seseorang yang mengisi hari-hari saya dengan semangat dan nuansa baru. Yah, itu adalah eros. Kalau mau dipikirkan terus, saya barangkali akan takut setengah mati karena tahu bahwa suatu saat eros akan pergi meninggalkan saya. Tapi, anyway, saya rasa saya sudah mati rasa dengan rasa takut itu. Jadi, lebih baik saya jalani saja apa adanya ketimbang diam dan tidak melangkah sama sekali. Barangkali yang sedang saya coba adalah menggabungkan antara eros dan agape itu. Saya belum tahu bagaimana hasilnya. Tapi nanti kalau ada perkembangan baru, saya akan cerita. Siapa tahu akan jadi salah satu terobosan dalam memahami apa itu cinta. Dan Erick Fromm mungkin harus merevisi bukunya.

Sebuah Lompatan Jauh Kedepan

Dalam terminologi sosial-politik, “Lompatan Jauh Kedepan” juga dikenal sebagai The Great Leap Forward, sebuah istilah yang mengacu pada salah satu program kerja pembangunan Cina yang dicetuskan oleh Mao Zedong pada masa kepemimpinannya dan dilaksanakan antara tahun 1958-1960. Disebut sebagai lompatan jauh kedepan, karena pada masa itu terjadi perubahan yang luar biasa dalam model pembangunan ekonomi yang dijalankan di Cina untuk mendorong kesejahteraan rakyatnya. Sebuah negara agraris dengan basis masyarakat petani, dialihkan seketika itu juga mengikuti model pembangunan Uni Sovyet yang berbasis teknologi dan industri. Era ini disebut sebagai langkah awal usaha memodernkan Cina Komunis yang pada masa itu dilanda krisis dan kemunduran akibat sistem ekonomi, sosial, dan politiknya.

Saya tidak akan berbicara secara spesifik mengenai isu politis ini, apalagi secara khusus membahas mengenai pembangunan Cina. Saya hanya meminjam terminologinya sebagai sebuah refleksi akan proses kehidupan itu sendiri. Dan menarik bagi saya, karena sebagaimana bentuk ‘lompatan’ yang dilakukan oleh Cina, ia dengan beraninya mengambil langkah besar. Mengalihkan sistem produksi ekonomi agraris menjadi industrialis. Langkah ekstrim yang tentunya harus dibarengi pula oleh dasar-dasar yang kuat untuk mendukung dan mensukseskan program ini. Satu yang saya sadari mengenai hal ini adalah, sang kreator berani mengambil satu langkah awal, sekalipun pada perkembangannya ia sendiri tidak meyakini apakah program ini akan berhasil atau tidak. Cukup satu langkah kedepan untuk memulainya.

Ada begitu banyak hal yang mengelilingi hidup kita. Saya tidak perlu menyebutkan ataupun merincinya satu per satu, karena tentunya setiap orang memiliki cerita berbeda-beda. Ditengah banyak hal tersebut, seringkali kita dituntut untuk membuat satu langkah kecil, maju kedepan. Tetapi sayangnya, rasa khawatir dan takut untuk mencoba justru menyurutkan langkah kita. Hingga pada suatu masa,kita diperhadapkan dengan suatu keadaan yang menjadi puncak segala-galanya. Disitulah kita berani mengambil satu langkah kecil itu untuk menjadikannya sebagai sebuah lompatan jauh kedepan untuk kita. Siap atau tidak siap.

Belakangan, saya merasakan hal serupa. Entah apa yang terjadi dalam diri saya. Tapi saya rasakan hidup saya semakin penuh dengan kejutan-kejutan yang tidak terduga. Kadang kejutan itu diiringi dengan tawa, kadang diiringi dengan tangis. Bahkan mungkin trauma-trauma kecil. Untuk hal yang satu ini, barangkali saya harus diruwat! Buang sial, begitu kata orang Jawa dan orang tua zaman dulu. Yah, namun, apapun itu, nyatanya kejutan-kejutan itu membawa dampak besar bagi saya. Dampak yang semakin mendorong saya mengambil langkah kecil untuk sebuah lompatan besar dikedepannya.  

Saya tidak pernah membayangkan bahwa saya akan mengalami beberapa rasa kehilangan dan sakit hati yang cukup menghantam saya. Beruntung saya berada di tengah teman-teman baik yang memberikan dukungan penuh kepada diri saya, sehingga segala sesuatunya menjadi tidak terlalu berat untuk saya jalani. Tetapi, itu semua merubah saya. “Elu sedang naik kelas, Ma!”, begitu kata teman saya setelah selama beberapa hari menjadi tong curhat tak berkesudahan.

Saya barangkali adalah orang yang senang melakukan analisa terhadap berbagai hal. Analisa-analisa yang berputar diotak saya kemudian saya cerna, pikirkan secara mendalam, dan dari situ saya coba membentuk fondasi bagi diri saya untuk siap melangkah. Namun, seringkali hal ini malah berujung pada kekhawatiran atau ketakutan untuk menghadapinya. Terutama jika hal tersebut akan menyebabkan saya menghadapi sesuatu yang sangat berat secara mental dikedepannya. Analisa-analisa itu menjadi semacam perlindungan tubuh dan jiwa bagi saya, sehingga saya tidak perlu merasakan sakit dikemudian hari. Tapi saya sadari kemudian, saya justru melewatkan berbagai hal yang saya yakini dan saya inginkan oleh karena rasa takut dan khawatir tersebut.

Hantaman demi hantaman saya lalui dengan berusaha tegak berdiri. Rasa sakit yang seakan menjadi salah satu sahabat saya kemudian membuat saya tersadar, saya terdampar dalam suatu kondisi kekosongan yang luar biasa. Ya, saya berada pada titik nol dalam diri saya. Titik nol dimana saya tidak tahu siapa saya, bagaimana saya, apa yang sebetulnya ingin saya raih, dsb, dsb. Pada perkembangannya, mati rasa yang saya rasakan ini berubah menjadi suatu pertanyaan : apa itu rasa takut ? bagaimana rasa takut itu sebenarnya ? mengapa saya harus takut dengan rasa takut itu ?

Masa lalu membawa saya pada satu titik kecil. Satu langkah kecil untuk bisa siap dan kuat menghadapi segalanya. Setidaknya itu yang saya rasakan sekarang. Ternyata memang tidak mudah bagi manusia untuk berani menentukan lompatan jauhnya masing-masing. Belenggu-belenggu yang mengikat mereka untuk melangkah, kadang membuat lompatan jauh itu menjadi begitu sulitnya terjadi. Harus ada pemicu, kalau tidak mau dikatakan nekad.

Yah, sekarang, saya sedang duduk sendirian di coffee shop seusai jam kantor, sebagaimana kebiasaan saya, saat saya membutuhkan ketenangan dalam berpikir dan melihat kembali jauh kedalam diri saya. Saya mencoba mengkonfirmasi apa yang saya rasakan ini. Betulkah saya siap untuk mengalahkan rasa takut itu ? Ataukah saya hanya terjebak dalam emosi sesaat saja ? Jawaban yang saya temukan hanya merupakan pengulangan pertanyaan :  apa itu rasa takut ? bagaimana rasa takut itu sebenarnya ? mengapa saya harus takut dengan rasa takut itu ?

Setelah ini, keadaan barangkali berubah untuk diri saya dan orang-orang di sekeliling saya. Apapun itu, namun, satu langkah kecil bagi dirimu, ternyata bisa menjadi sebuah lompatan besar buat saya. Dan sebagaimana yang terjadi dalam berbagai fase kehidupan setiap orang, hadapi itu semua tanpa pernah merasa takut dengan apa yang akan terjadi kedepannya.

A R I M B I

Namanya Arimbi.

Tepatnya, Arimbi Karuna Maharishi. Seorang anak yang datang ditengah keharuan orangtuanya, dan kelak akan tumbuh menjadi seorang putri yang cantik, bijak, baik hati, setia, jujur dan pemberani. Ibunya memilihkan namanya karena terinspirasi dari Dewi Arimbi dalam kitab Mahabharata. Ia adalah istrinya Bima, yang harus berakhir hidupnya dalam Perang Bharatayudha ketika membela putranya, Gatot Kaca. Sungguh sebuah citra perempuan sempurna. Lemah lembut, baik hati, jujur, bijak, setia, sekaligus tangguh dan pemberani.

Namanya Arimbi.

Ketika ia lahir kelak, berharaplah bahwa ia akan berada ditengah dunia yang membaik. Dunia yang membebaskannya atas pilihan-pilihannya, bukan mengungkungnya dalam tuntutan. Ketika masa itu tiba, dia akan menjadi perempuan yang sangat beruntung. Ia dapat memeluk dunia, melakukan apa yang diinginkannya, dan berjalan mengikuti keyakinannya.

Namanya Arimbi.

Ia adalah seorang putri yang dilimpahi kasih sayang dari ayah dan bundanya. Ibunya akan mengajarkan pengetahuan yang ia tangkap dan resapi melalu indra-indranya. Sang Ibu akan melihat detik-detik pertumbuhannya. Dari seorang bayi mungil, gadis kecil, remaja, hingga kelak ia akan tumbuh dewasa. Ibunya akan mewariskan padanya sebuah keyakinan akan hidup, yang berasal dari hatinya, dan bukan dari orang sekitarnya. Ayahnya, akan mengajarkan keberanian dan ketangguhan, sifat yang akan dibutuhkannya nanti ketika ia maju berperang dengan dunia ini. Ayahnya akan menumbuhkan kebijakan, sifat yang akan melembutkan dirinya dalam bersikap dan memandang dunia.

Namanya Arimbi.

Ia akan menjadi putri kehidupan. Mengikuti kemana angin membawanya dengan bunga-bunga cantik di sekelilingnya. Ia akan menjadi putri cahaya, menyapa setiap burung-burung kecil yang bernyanyi di dahan-dahan pohon. Ia akan menjadi Venus dalam kegelapan, yang akan mengabdikan dirinya menolong mereka yang membutuhkan. Ia akan memegang pedang di tangan kirinya, dan memegang air di tangan kanannya. Harapan akan seorang putri yang akan membela bagi apapun dan siapapun yang berada dibawah ketertindasan dan keterpenjaraan.

Namanya Arimbi.

Dan saat ia menghilang, seluruh harapan akan tetap tinggal di tanah dan bumi ini. Menjadi sumber kehidupan bagi inspirasi-inspirasi lainnya.

Kesuksesan Itu..

Suatu ketika di kampus, saat sedang duduk-duduk santai dengan seorang sahabat, ia kemudian bertanya pada saya.

Dia : Eh, Ma, menurut lo sukses itu artinya apa ?

Saya : Sukses ? Hmmm.. Ketika elo berhasil mencapai apa yang selama ini lo sudah kerjakan dengan susah payah lalu bikin orang bangga sama apa yang elo kerjakan!

Dia : Kalau gitu, sukses lo sendiri apa ?

Saya : Hmmm….

Sukses saya apa ? Hmm.. pertanyaan yang gampang-gampang susah buat dijawab. Lantas saya mencoba mencari apa yang kira-kira sudah saya lakukan selama ini. Apakah semua itu sudah bisa dianggap sebagai kesuksesan ? Ataukah saya masih dalam perjalan menuju sebuah kesuksesan ? Tapi, apa sih sebetulnya kesuksesan itu ? Apa sih indikatornya ? Apakah memang berlaku universal dan tiap-tiap orang bisa sama dalam mengalaminya ?

Di tengah pembicaraan saya dengan sahabat saya itu, sebetulnya topik yang sedang kita bahas adalah soal dosen pembimbing saya. Saya katakan padanya bahwa dosen saya ini tergolong unik dan patut untuk dijadikan panutan. Kalau dosen-dosen lainnya sedang sibuk berpolitik praktis atau mejemg sana sini, Bapak saya yang satu ini justru santai di kampus, berjalan apa adanya. Ambisi ? Obsesi ? Saya tidak tahu ada pada urutan keberapa dalam hidupnya. Tapi, jangan kira beliau ini adalah orang yang tidak punya kerja apa-apa. Pemikirannya sangat cemerlang. Dia orang yang sangat pintar. Saya menghormati sekaligus mengagumi pola pikirnya.

Lantas, apakah dengan kondisi seperti ini itu artinya dia tidak bisa dibilang telah meraih kesuksesan ? Saya tidak tahu bagaimana pendapatnya, tapi saya kira kesuskesannya ada pada ukuran dirinya. Sekalipun hidup dan penampilannya sangat sederhana, namun dia mau meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan para mahasiswanya. Mendorong anak-anak ini, dari mereka yang tidak percaya diri, hingga mau menyelesaikan karyanya dengan penuh keyakinan. Saya adalah seorang muridnya yang terus didorong untuk yakin dan percaya bahwa apapun yang saya lakukan akan membuahkan hasil, asal mau bekerja keras. Wow!

Bagi saya itu adalah kesuksesannya. Ia mungkin tidaklah memenuhi standar kesuksesaan absurd masa kini dimana sebagian besar diukur secara materi dan prestis. Yang semua terlihat serba mentereng dari luarnya saja. Dan saya kira, disitulah titik nol saya dalam memahami apa arti kesukesan, keberhasilan atau apapun itu namanya dan terus merefleksikan dengan hal lainnya di sekeliling saya. Seringkali kita terjebak dengan indikator absurd tersebut. Kita dituntut untuk memenuhi standar kriteria yang telah terkonstruksi di tengah masyarakat. Saya mencoba memikirikannya kembali.

Pada beberapa tahun atau dekade lalu, ukuran material dan prestise ini barangkali bisa berlaku. Money can buy anything, sangat relevan, walaupun relevansi itu tetap ada hingga saat ini. Namun, dalam perkembangannya, ternyata ada indikator lain dalam melihat kesuksesan atau keberhasilan itu. Tidak hanya materi semata. Apa yang membuntutinya dan seringkali kita lupa adalah ‘happiness’ atau ‘kebahagiaan’. Sebagian besar orang menilai, kesuksesan akan berbanding lurus dengan kebahagiaan. Kenyataannya, tidak juga. Dalam sebuah artikel dan kajian ilmiah mengenai masyarakat-masyarakat yang sedang berada dalam proses pembangunan, saya menemukan kalimat menarik.

Tingkat perekenomian Cina meningkat tajam, namun dibarengi dengan pola psikologis masyarakatnya yang cenderung berubah. Masyarakat yang tengah menikmati masa jaya ekonominya juga dibarengi dengan peningkatan tekanan psikologis (stress) yang relatif tinggi.”

Kalimat tersebut seakan menjadi kalimat afirmatif bagi saya, bahwa, ya, keberhasilan dan meningkatnya ekonomi tidak melulu dibarengi dengan peningkatabn kebahagiaan dari para individunya. Mereka dituntut bekerja layaknya mesin produksi yang terus menerus mengeluarkan uang. Belum lagi kehilangan waktu untuk menikmati hal-hal sederhana yang luput ia syukuri di sekelilingnya. Plus, hal-hal lainnya yang juga menjadi faktor ‘X’ dalam menambah tekanan psikologis itu.

Memenuhi tuntutan nilai keberhasilan yang dipaksakan oleh sekeliling kita tidaklah mudah. Seringkali kita berubah menjadi sesuatu yang lain demi memenuhi tuntutan tersebut, agar layak diterima oleh masyarakat atau dianggap telah berhasil. Tidak heran, mengapa akhirnya keberhasilan dimana kebahagiaan sebagai salah satu variabelnya, yang seharusnya menjadi kurva linier progresif, berubah menjadi fluktuatif. Bahkan ukuran Human Development Index (Indeks Pembangunan Sumber Daya Manusia) pada masa pun telah memasukan indikator baru dalam mengukur keberhasilan pembangunannya. Dan indikator itu adalah indicator of happiness atau indikator kebahagiaan. Orang miskin, belum tentu merasa menderita. Orang kaya, belum tentu merasa bahagia.

Setelah perenungan sesaat itu, saya lantas mencoba menarik garis kesimpulan dari seluruh bahan analisa yang berputar di kepala saya. Apa sebenarnya kesuksesan itu ? Apakah ketika saya membuat sekeliling saya merasa bangga ? Apakah ketika saya dipuja ? Apakah ketika saya berjalan orang memandang saya dengan takjub karena kepintaran saya ? Apakah karena saya …. ah, banyak sepertinya…

Tapi, saya rasa, dari seluruh pertanyaan itu, saya akhirnya melihat kesuksesan pada saat saya merasa bahagia, apapun kondisi saya ketika itu. Itu adalah kesuksesan. Karena ketika saya tidak bahagia, saya tidak bisa membahagiakan orang-orang disekeliling saya, dan berbuat lebih banyak lagi karya untuk yang lain. Terdengar egoistis, tetapi itulah dia. Letak kesuksesan itu bukan pada prestise atau materi yang mengelilingi kita. Tetapi pada apa yang ada dan dirasakan dalam hati kita.

Jalan-Jalan Ke Es Krim Ragusa

Pagi-pagi sampai di kantor, seperti biasa saya sedang mengumpulkan mood untuk melihat kerjaan apa hari ini yang harus diselesaikan. Biasanya ini akan berhasil ketika sampai di meja, menyalakan komputer, mengeluarkan iPod, sign in sana sini, dan mulai mengetik sambil mendengarkan musik. Tapi kadang juga harus menggunakan cara lain. Maka hari ini, yang saya lakukan adalah dengan mengingat kejadian apa pada hari kemarin yang membuat saya senang. Jawabannya adalah : MAKAN ES KRIM!

Kemarin sepulang kantor, niatan saya adalah mengajak teman-teman perempuan di kantor untuk nongkrong dimana saja. Pilihan umum sih biasanya nggak jauh-jauh dari coffee shop. Tapi salah satu teman saya melontarkan idenya untuk makan es krim. Saya pikir, saya sudah lama juga tidak menyempatkan waktu untuk jalan bareng mereka, dan es krim sepertinya menyenangkan. Tanpa pikir panjang, saya langsung setuju. Dan tujuan ‘ngeskrim’ kita sore itu adalah Es Krim Ragusa di Jln. Vetera, Jakarta Pusat.

Ragusa selalu menjadi pilihan saya manakala saya ingin mencari jajanan ringan, sehat, tetapi terjangkau. Awalnya, saya tahu tentang keberadaan es krim yang sebenarnya cukup terkenal di Jakarta ini dari sebuah artikel kuliner di koran. Disebutkan disitu bahwa si Es Krim Ragusa ini merupakan es krim tertua di Jakarta karena sudah ada sejak zaman Hindia Belanda, alias tahun 1932 ! Hebat sekali mereka masih bisa bertahan hingga sekarang, dan tetap mempertahankan keaslian resep es krimnya.

Apa yang membedakan Ragusa dari es krim-es krim lainnya ? Sebagai es krim ala Italia, es krim ini punya rasa yang betul-betul segar. Hal ini karena sejak dulu, es krim ini tidak menggunakan bahan pengawet atau pengental apapun dan hanya terbuat dari susu, air, dan perasa lainnya. Rasa yang keluar dari es krim ini pun benar-benar asli, bukan dari bahan perasa buatan. Kalau makan es krim ini, harus cepat. Karena dalam waktu kurang dari 15-30 menit saja, dia sudah meleleh.

Banyak sekali menu es krim yang ditawarkan. Yang paling terkenal sih Tutti Frutti dan Casata Sicilliana yang warna es krimnya belang-belang putih, hijau, coklat dan dilapisi roti. Selain itu, yang unik, mereka juga punya Spaghetti Ice Cream yang bentuknya betul-betul seperti mi. TIdak hanya itu, mereka menyediakan jenis lain seperti rum raisin, vanilla, coklat, nougat, dsb. Semua dengan harga yang masih sangat terjangkau dan sebanding dengan rasanya.

Kemarin, saya memesan es krim Nougat. Es krim single scope ini, warnanya hijau dan ditaburi kacang tanah. Rasa kelapa yang bercampur dengan gurihnya kacang, bikin stress saya hilang pada hari itu. Sementara teman-teman saya lainnya memesan Casata Sicilliana dan Spaghetti Ice Cream. Untuk makanan, say tidak pernah melihat bahwa Ragusa juga menyediakan menu makanan. Tapi diluar restoran es krim ini ada beberapa pedagang makanan yang selalu mangkal dan dapat kita pesan untuk makan ditempat. Dua pilihan jajanan yang pasti adalah Asinan & Mi Juhi serta Satai Ayam! Itu sudah pasti! Rasanya pun enak, dan harganya nggak lebih dari Rp. 10.000,- / porsi. Jadi, lumayan juga, makan es krim ditemani asinan atau satai ayam.

Selain Ragusa, sebenarnya es krim lainnya yang saya rekomendasikan adalah Es Krim Baltic. Ini juga sama dengan es krim Ragusa, sama-sama es krim yang umurnya uzur. Tapi Baltic ini lebih mudaan sedikit dari Ragusa, karena berdiri tahun 1939. Dari segi rasa, saya sebenarnya lebih suka Es Krim Baltic karena lebih ‘nendang’. Rasa dari setiap es krimnya lebih ‘keras’ dibanding Ragusa yang barangkali terlalu lembut, jadi rada ‘sayup-sayup’. Kalau Ragusa punya restoran yang nyaman dengan cukup banyak bangku-bangku, maka Es Krim Baltic yang letaknya di Jln. Kramat Raya, Jakarta Pusat tidak terlalu besar. Dulu, tempatnya memang besar. Namun setelah makin lama terkikis akibat pelebaran jalan, ya hanya sisanya saja. Tapi yah, ada masih ruang juga untuk makan ditempat. Saya lebih memilih untuk take away. Dulu,  ibu saya suka beli borongan. Beli es batangannya, satu kotak besar dengan tujuan untuk stok camilan 1 bulan. Nyatanya, kurang dari 1 minggu pasti sudah saya habiskan! Hehehehe..

Hm, kelihatannya ini sudah cukup panjang bercerita sana sini tentang es krim. Saya jadi lapar sekarang! Hehehehe.. Tapi jalan-jalan kemarin ke Ragusa bersama dengan teman-teman memang menyenangkan. Walaupun topiknya sebenarnya ‘aneh’ (udah nongkrong pulang kantor, tetap aja yang dibahas masalah kantor!), nggak akan berasa apa-apa kalau ngobrolnya sambil jilatin es krim! Besok jalan-jalannya kemana lagi ya ?

Gue dan Kamera Analog vs Digital

Asiiikkk… ! Jadi sekarang punya kesempatan mengenali hobi lain yang selama ini terpendam dalam diri gue. Fotografi. Ha! Akhirnya gue mulai juga ngulik-ngulik kamera foto beserta turunannya itu. Hm, sayangnya, mungkin gue rada telat menyadarinya kali ya. Soalnya ketika gue tiba-tiba sedang mood-moodnya nyari gambar, kelihatannya semua orang sekarang JUGA sedang memegang kamera SLR-nya masing-masing, jepret sana jepret sini, lalu upload di berbagai media yang mereka punya. Oh, no! Eh, tapi sisi positifnya sih, gue bisa dapat ilmu banyak dari sharing sesama penyuka fotografi! Itu kayaknya lebih bagus daripada harus keluar duit untuk sengaja ngambil kursus kamera..Hehehehe..

Setelah lebih dalam lagi mencari pengalaman fotografi, ternyata gue semakin sadar, fotografi itu seperti melukis. Hanya saja, bukan kita yang menggerakkan tangan kita untuk menggambarkan setiap detail dari apa yang kita lihat. Tapi kamera. Cuma, itu semua juga tergantung dari bagaimana kita bisa mengatur settingannya agar gambar-gambar yang terekam menjadi indah. Setidaknya itu yang gue dapat dari hasil diskusi dan pengamatan selama ini.

Kamera SLR pertama gue adalah Canon EOS yang gue lupa serinya berapa. Ini kamera Analog. Pertama kali gue dapat kamera ini dari bokap gue (yang mana juga merupakan hadiah dari temannya, dan karena kameranya gede, bokap gue gak ngerti cara makenya!). Ini terjadi sekitar tahun 2000-an. Waktu itu, kamera D-SLR sepertinya baru-baru menjamur dan harganya selangit. Well, luckly, gue masih nggak terlalu peduli dengan Digital dan Analog. Yang penting bukan kamera pocket, ya sudah, gue jajal.

Main dengan kamera SLR Analog ternyata butuh ketekunan dan biaya yang nggak recehan. Tingkat kesulitannya juga jauh dibandingkan digital yang kalau sekali jepret sudah bisa melihat hasilnya dari layar LCD. Blur atau tajam. Terang atau gelap. Sementara Analog ? Hmmm.. Kamu baru akan menerima kenyataan setelah 1-2 hari! Itupun hampir pingsan melhat hasilnya! Hihihihihi.. (fokusnya gak tepat lah, cahayanya under atau over lah, angle-nya kurang oke, lah.. dan lah lah lah yang lain!)

Itu pula merupakan masa dimana gue jor-jor-an nyisihin uang jajan untuk beli berbagai macam film, yang harganya pada jaman itu udah bikin kantong jebol! (Kalau disini, mana sempet mikirin lensa! Mikirin harga filmnya saja sudah bikin gue garuk-garuk kepala!). Untuk kamera SLR ini, gue bisa dibilang cukup royal. Kalau kamera pocket dikasih film merk Fuji 24/36 asa 200 atau 400 aja gue udah diem, kalau yang si Analog ini, nggak bo! Gue cari info kira-kira film model apa sih yang aneh tapi kualitas gambarnya bagus. Orang bilang coba black and white, coba slide film, coba expired film, dsb. Merek juga menentukan kemana duit gue berlabuh. Maka, nggak heran sekali gue borong film bisa ratusan ribu habisnya.

Tapi gue nggak pernah nyesel. Walaupun dari 36 shots paling cuma 10-12 yang beres, tapi gue puas dengan apa yang gue kerjain. Satu foto yang gue inget paling gue suka adalah ketika gue ambil foto nyokap gue di Belanda, dan gue ngambil fotonya diantara bunga tulip. Posisinya miring 30 derajat, dan nyokap gue lagi senderan di pohon. Hwah! Pas gue lihat hasil akhirnya, warnanya tajam dan cantik (saking senengnya gue gedein tuh foto!). Itu gue ambil dengan slide film, jadi bahkan lihat di postivenya aja gue sudah senyum-senyum sendiri ! Hehehehehe..

Walaupun gue bukan fotografer dan asalnya cuma iseng doank jeprat-jepret dan coba sana-sini, gue cukup picky dalam milih film. Untuk B&W, gue selalu pake Ilford. Jaman itu harganya bisa sampe Rp.60.000,-an lebih. Kalau sudah selesai foto, pas minta filmnya di proses, kadang suka gue minta dikasih warna biar jadi sephia. Lalu untuk slide, gue pilih Kodak karena warnanya menurut gue nggak menipu. Tapi kalau budget sedang tiris, B&W,slide, atau expired film itu juga nggak harus fanatik satu brand. Bisa apa saja disesuaikan dengan celengan. Hehehehe..

Baiklah. Delapan tahun sesudahnya.

Gue masih dengan SLR. Tapi kali ini, AKHIRNYA gue punya juga D-SLR. Setelah sekian lama menabung, perang dan terjebak dalam dilema merk kamera, sampai akhirnya bingung menyesuaikan dengan bugdet, hm, cinta kedua gue, gue berikan kepada NIKON D40x! Ha! Setelah sekian tahun menjadi Canoners, saya berkhianat! Gue beralih jadi Nikoners, walau kadang tetap Canoners.. (Halah! Apaan sih ?!).

Pemicu dari segala era-digital dalam hidup fotografi gue adalah kamera pocket mungil bernama Olympus FE-180, yang sudah sering gue bawa kemana-mana, membantu gue mengabadikan moment, melalui tahap olah digital, dan melihat hasilnya yang memuaskan. Lalu, ketika gue membawa si nona kecil ini dalam tur malam hari di Kota Tua Jakarta yang hasilnya ‘Oh My God! Kok noise-nya tinggi banget sih ?!’. Sejak saat itu, gue tahu untuk merekam moment yang sesuai dengan apa yang gue bayangin, harus menggunakan kamera yang barangkali lebih kompatibel. D-SLR.

Sudah dua bulan ini si D40x jalan-jalan bareng sama gue. Dari mulai dalam kota, luar kota, sampai luar negeri. Semua medan sudah dia jalani. Well, setidaknya untuk kondisi ekstrim panas dan berdebu seperti di Porong atau dingin dan berembun seperti di Kaliandra, Prigen kemarin. So far, gue suka dengan kamera ini. Beberapa kali gue ambil foto, tone warna yang gue bayangkan, keluar persis pada sekali capture. Dan maka dari itulah gue sering sekali iseng ambil foto darimana-mana. Biasanya random dan nggak gue tentuin apakah itu human interest, landscape, architecture.. Apapun! Karena gue pengen lukisan moment itu, bisa berhenti, dan kembali gue lihat pada waktu-waktu lain. Kalau untuk hemat-hematan juga, relatif sih pada akhirnya. Karena harga lensanya itu yang nggak main-main. Hehehehe..

Jadi, sekarang gue sedang senang motret. Dan juga sedang senang berdiskusi dengan teman-teman gue lainnya sesama tukang motret yang nggak pelit ilmu. Hasil dari apa yang gue kerjakan, gue upload dan gue manage dalam satu artblog dengan ID : http://asyma268.deviantart.com.

Yah, Kamera..kamera… (sambil geleng-geleng kepala!)

Kekuatan dan Keberanian

“Butuh kekuatan untuk menyiapkan sesuatu hal, butuh keberanian untuk menolak sesuatu hal,

Butuh kekuatan untuk merasakan kesakitan kawanmu, butuh keberanian untuk merasakan kesakitanmu sendiri,

Butuh kekuatan untuk menyembunyikan rasa sakitmu, butuh keberanian untuk menunjukkan rasa sakitmu,

Butuh kekuatan untuk menahan siksaan, butuh keberanian untuk menghentikannya,

Butuh kekuatan untuk berdiri sendiri, butuh keberanian untuk bergantung kepada yang lain,

Butuh kekuatan untuk mengasihi, butuh keberanian untuk dikasihi,

Butuh kekuatan untuk bertahan hidup, butuh keberanian untuk hidup..”

-N.N –

*Thanks to Heri for this beautiful quotations. It saved my soul in the past..