Kemarin, disela-sela berita mengenai jelang Lebaran 2011, ada satu berita yang lucu dan cukup mengusik saya. Berita itu mengenai gerombolan FPI yang menyerbu gedung SCTV untuk berdemo, memaksa agar film “?” karya Hanung Bramantyo tidak diputar. Alasannya : film tersebut berbahaya dan menghina umat Islam. Suatu alasan klise yang dalam dekade belakangan ini seringkali saya dengar. Bahkan saking seringnya, alasan tersebut malah membuat saya jadi ingin tertawa.
Saya sendiri belum menonton film “?” yang menghebohkan itu, tapi saya sudah lihat trailernya. Dan menurut saya, sebagai penikmat film, Hanung terbilang sangat berani dan mampu menggambarkan kondisi riil masyarakat pluralis Indonesia saat ini. Sekalipun barangkali plot-plot cerita dibuat lebih ekstrem. Tapi intinya, jika kita mampu berpikir lebih luas lagi, cerita tersebut dibuat untuk mengingatkan kita bahwa inilah wajah nyata kemajemukan Indonesia saat ini.
Jauh sebelum film Hanung ini diproduksi, saya sudah melihat film “cin(T)a” garapan Sammaria Simanjuntak, sebuah film indie yang mengedepankan persoalan keyakinan di Indonesia. Film yang sangat bagus menurut saya, yang dilatar belakangi romansa generasi muda. Film tersebut memang tidak se-ekstrem “?”, karena sepanjang cerita, isinya lebih banyak dialog yang bersumber mengenai kegelisahan dua orang anak muda akan konflik-konflik yang terjadi di tengah-tengah mereka demi membela Tuhannya, membela keyakinannya. Tidak ada penggambaran se-eksplisit restoran Cina yang berdagang makanan mengandung babi, lalu didemo oleh ormas Islam sebagaimana di film Hanung. Tapi jika disimak dialog demi dialog, ia cukup keras menyindir perilaku beragama masyarakat Indonesia saat ini. Setidaknya, begitulah yang saya tangkap dari hasil menonton film tersebut. Persepsi tiap orang bisa beda-beda, kan.
Apa benang merah kedua film tersebut selain isi cerita yang mencoba memberikan gambaran nyata masyarakat majemuk Indonesia sekarang ? Dua-duanya mendulang protes. Bedanya, film “cin(T)a” sempat diprotes oleh kelompok mahasiswa Indonesia di London karena dianggap terlalu berani menampilkan isu keyakinan tersebut dalam sebuah film layar lebar. Mungkin tidak seheboh film “?” yang sampai di fatwa MUI akibat pandangan pluralis-nya. Tapi keduanya sama-sama menerima tentangan bahwa film yang dibuat terlalu sensitif dan dapat mengganggu kehidupan beragama masyarakat kita.
Ketika mendengar dan membaca kritikan itu, saya hanya bertanya dalam diri sendiri : “mengapa kita harus takut dan marah menerima kenyataan yang memang seperti itulah adanya ?”. Tokoh yang ada didalam cerita barangkali fiktif. Tetapi alur cerita dan gambaran-gambarannya adalah nyata. Dan hingga saat ini, usaha untuk dialog antar agama yang dilakukan masih belum maksimal. Entah karena hanya segelintir orang atau kelompok saja yang mau giat melakukannya, atau karena sudah terlalu banyak individu yang didoktrin untuk menjadi fundamentalis militan.
Kenapa harus takut akan perbedaan ? Pertanyaan itu selalu ada di otak saya manakala saya membaca berita mengenai fatwa a,i,u,e,o ; demo kegiatan antar agama a,i,u,e,o ; dsb. Indonesia tidak pernah menyatakan dirinya sebagai negara yang mutlak memeluk satu jenis keyakinan saja. Sudah sejak zaman nenek moyang kita dulu, berbagai ras dan keyakinan ada di Indonesia. Jika tidak, kita tidak akan pernah memiliki kekayaan budaya seperti Candi Borobudur yang mewakili Budha kuno, Candi Prambanan yang mewakili Hindu kuno, Kelenteng Tek Bio di Tangerang yang mewakili suku Cina dan keyakinan Kong Hu Cu, Masjid Demak, Gereja Kathedral, dsb. Kita tidak akan memiliki semua itu. Lalu pertanyaannya, kenapa kita harus menjadi takut akan perbedaan ?
Saya ingat dulu saya pernah menonton sebuah film berjudul “Partition” garapan sutradara Vic Sarin. Film yang sangat menyentuh dan bagus yang dilatar belakangi konflik agama Sikh dan Islam di India pada tahun 1947. Film ini jelas-jelas memperlihatkan bagaimana kedua belah pihak saling membunuh dengan terbuka. Bagaimana kelompok Sikh merampok, membunuh, bahkan memperkosa masyrakat muslim yang kala itu tengah eksodus keluar dari India. Dan bagaimana kelompok Muslim juga menyerang kelompok Sikh. Akibat dari konflik keras dan berkepanjangan itu, pecahlah negara tersebut. Kelompok Sikh tetap berada di India, sementara golongan Muslim yang terusir kemudian mendirikan negara baru, negara yang kini kita kenal sebagai Pakistan.
Bukan masalah gambaran konflik yang membuat saya tersentuh melihat film tersebut. Tapi kisah cinta yang ada digambarkan antara pemuda Sikh dan gadis Muslim yang ia selamatkan saat terjadi perampokan dan pembunuhan dalam eksodus warga Muslim masuk ke Pakistan. Gadis Muslim tersebut diselamatkan oleh si pemuda dan dirawat di perkampungan Sikh, sesuatu yang sangat tabu pada masa itu. Hingga akhirnya, si gadis dipaksa pulang ke Pakistan dan pemuda Sikh ini harus berjuang mati-matian agar bisa bersama dengannya. Akhirnya, pemuda Sikh ini nekad. Masuk ke Pakistan, mengganti agamanya menjadi Muslim, demi cintanya kepada si gadis. Lalu apa yang dia dapat ? Perlakuan kejam dari keluarga si gadis, karena tahu dulunya pemuda ini adalah bagian dari komunitas Sikh yang menindasnya.
Pertanyaan yang dilontarkan dalam film tersebut masih terus terngiang-ngiang di kepala saya hingga saat ini. “Kenapa kemudian agama menjadi sebuah partisi yang menyekat-nyekat antara kita dan lainnya ?”. Dan pertanyaan yang samalah harusnya juga dijawab oleh sebagian besar mereka yang mati-matian membela keyakinannya hingga menyakiti manusia lain. Jika memang negara ini menyadari betul apa artinya masyarakat majemuk, pertanyaan dan konflik yang ada tidak sepatutnya ada dan tumbuh subur. Itu jika memang menyadari. 🙂